KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM


A.    Pemimpin Secara Umum
  1. Pengertian Pemimpin
Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama yaitu"pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu; karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan "pemimpin".
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan. (Kartini Kartono, 1994:181).
Pemimpin jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris menjadi leader, yang mempunyai tugas untuk me-lead anggota disekitarnya. Sedangkan makna lead adalah:
a.       Loyality, seorang pemimpin harus mampu membagnkitkan loyalitas rekan kerjanya dan memberikan loyalitasnya dalam kebaikan.
b.      Educate, seorang pemimpin mampu untuk mengedukasi rekan-rekannya dan mewariskan tacit knowledge pada rekan-rekannya.
c.       Advice, memberikan saran dan nasehat dari permasalahan yang ada.
d.      Discipline, memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan dalam setiap aktivitasnya

  1. Syarat dan Kriteria seorang pemimpin
Pimpinan yang dapat dikatakan sebagai pemimpin setidaknya memenuhi beberapa kriteria,yaitu :
a.       Memiliki Pengaruh : Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki orang-orang yang mendukungnya yang turut membesarkan nama sang pimpinan. Pengaruh ini menjadikan sang pemimpin diikuti dan membuat orang lain tunduk pada apa yang dikatakan sang pemimpin. John C. Maxwell, penulis buku-buku kepemimpinan pernah berkata: Leadership is Influence (Kepemimpinan adalah soal pengaruh). Mother Teresa dan Lady Diana adalah contoh kriteria seorang pemimpin yang punya pengaruh.
b.      Mempunyai Kekuasaan/power : Seorang pemimpin umumnya diikuti oleh orang lain karena dia memiliki kekuasaan/power yang membuat orang lain menghargai keberadaannya. Tanpa kekuasaan atau kekuatan yang dimiliki sang pemimpin, tentunya tidak ada orang yang mau menjadi pendukungnya. Kekuasaan/kekuatan yang dimiliki sang pemimpin ini menjadikan orang lain akan tergantung pada apa yang dimiliki sang pemimpin, tanpa itu mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Hubungan ini menjadikan hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme, dimana kedua belah pihak sama-sama saling diuntungkan.
c.       Wewenang : Wewenang di sini dapat diartikan sebagai hak yang diberikan kepada pemimpin untuk fnenetapkan sebuah keputusan dalam melaksanakan suatu hal/kebijakan. Wewenang di sini juga dapat dialihkan kepada bawahan oleh pimpinan apabila sang pemimpin percaya bahwa bawahan tersebut mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan baik, sehingga bawahan diberi kepercayaan untuk melaksanakan tanpa perlu campur tangan dari sang pemimpin.
d.      Pengikut : Seorang pemimpin yang memiliki pengaruh, kekuasaaan/power, dan wewenang tidak dapat dikatakan sebagai pemimpin apabila dia tidak memiliki pengikut yang berada di belakangnya yang memberi dukungan dan mengikuti apa yang dikatakan sang pemimpin. Tanpa adanya pengikut maka pemimpin tidak akan ada. Pemimpin dan pengikut adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berdiri sendiri.

Sedangkan menurut Islam seorang pemimpin haruslah meneladani sikap sang pemimpin sejati sepanjang masa, Nabi Muhammad SAW. Sayarat-syarat tersebut yang menjadi sipat Rasulullah diantaranya ialah:
a.       S1DDIQ artinya jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan;
b.      FATHONAH artinya jerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan professional;
c.       AMANAH artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel;
d.      TABLIGH artinya senantiasa menyammpaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.

  1. Pemimpin Sejati
Seorang pemimpin dikatakan sebagai seorang pemimpin sejati jika dia memiliki beberapa sipat berikut:
a.       Visioner: Punyai tujuan pasti dan jelas serta tahu kemana akan membawa para pengikutnya. Tujuan Hidup Anda adalah Poros Hidup Anda. Andy Stanley dalam bukunya Visioneering, melihat pemimpin yang punya visi dan arah yang jelas, kemungkinan berhasil/sukses lebih besar daripada mereka yang hanya menjalankan sebuah kepemimpinan;
b.      Sukses Bersama: Membawa sebanyak mungkin pengikutnya untuk sukses bersamanya. Pemimpin sejati bukanlah mencari sukses atau keuntungan hanya bagi dirinya sendiri, namun ia tidak kuatir dan takut serta malah terbuka untuk mendorong orang-orang yang dipimpin bersama-sama dirinya meraih kesuksesan bersama;
c.       Mau Terus Menerus Belajar dan Diajar (Teachable and Learn Continuous): Banyak hal yang harus dipela ari oleh seorang pemimpin jika ia mau terus survive sebagai pemimpin dan dihargai oleh para pengikutnya. Punya hati yang mau diajar baik oleh pemimpin lain ataupun bawahan dan belajar dari pengalaman-diri dan orang-orang lain adalah penting bagi seorang Pemimpin. Memperlengkapi diri dengan buku-buku bermutu dan bacaan/bahan yang positif juga bergaul akrab dengan para Pemimpin akan mendorong Skill kepemimpinan akan meningkat;
d.      Mempersiapkan Calon-calon Pemimpin Masa depan: Pemimpin Sejati bukanlah orang yang hanya menikmati dan melaksanakan kepemimpinannya seorang diri bagi generasi atau saat dia memimpin saja. Namun, lebih dari itu, dia adalah seorang yang visioner yang mempersiapkan pemimpin berikutnya untuk regenerasi di masa depan. Pemimpin yang mempersiapkan pemimpin berikutnya barulah dapat disebut seorang Pemimpin Sejati. Di bidang apapun dalam berbagai aspek kehidupan ini, seorang Pemimpin sejati pasti dikatakan Sukses jika ia mampu menelorkan para pemimpin muda lainnya.

  1. Kepemimpinan
1.      Pengertian Kepemimpinan
Beberapa pendapat ahli mengenai kepemimipinan yakni, sebagai berikut :
  1. Menurut John Piffner, Kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan mengarahkan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki (H.Abu Ahmadi,1999:124-125)
  2. Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24);
  3. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti Kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281);
  4. Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. (Slamet, 2002: 29);
  5. Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7);
  6. Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 29);
  7. Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Thoha, 1983:123);
  8. Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa. (Ngalim Purwanto ,1991:26).
Definisi tentang kepemimpinan mengandung beberapa unsur pokok antara lain:
a.       Kepemimpinan melibatkan orang lain dan adanya situasi kelompok atau organisasi tempat pemimpin dan anggotanya berinteraksi;
b.      Di dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuasaan dan proses mempengaruhi bawahan oleh pemimpin; dan
c.       Adanya tujuan bersama yang harus dicapai.

.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama, baik dengan cara mempengafuhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari sini dapat dipahami bahwa tugas utatna seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja, tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga mereka mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan.

2.      Prinsip-prinsip Dasar Kepemimpinan
Karakteristik seorang pemimpin didasarkan kepada prinsip-prinsip (Stephen R. Coney) sebagai berikut:
b.      Seorang yang belajar seumur hidup : Tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga diluar sekolah. Contohnya, beJajar melalui membaca, menulis, observasi, dan mendengar. Mempunyai pengalaman yang baik maupun yang buruk sebagai sumber belajar;
c.       Berorientasi pada pelayanan : Seorang pemimpin tidak dilayani tetapi melayani, sebab prinsip pemimpjn dengan prinsip melayani berdasarkan karir sebagai tujuan utama. Dalam memberi pelayanan, pemimpin seharusnya lebih berprinsip pada pelayanan yang baik;
d.      Membawa energi yang positif : Setiap orang mempunyai energi dan semangat. Menggunakan energi yang positif didasarkan pada keikhlasan dan keinginan mendukung kesuksesan orang lain. Untuk itu dibutuhkan energi positif untuk membangun hubungan baik. Seorang pemimpin hams dapat dan mau bekerja untuk jangka waktu yang lama dan kondisi tidak ditentukan. Oleh karena itu, seorang pemimpin haras dapat menunjukkan energi yang positif.
  1. Jenis-jenis Pemimpin dalam Islam
  1. Kepemimpinan dalam Pemerintahan
Islam sebagai sebuah agama yang menghantarkan para pemeluknya pada kehidupan yang baik ( fi al- dunya hasanah), termasuk dalam tatanan kehidupan politik  kenegaraan, memiliki sejumlah aturan dan nilai yang mengatur tentang hal itu. Diskursus mengenai  relasi islam dan Negara ini di kalangan umat islam telah melahirkan sejumlah teori. Menurut Munawir Sjadzali, setidaknya ada tiga aliran mengenai relasi islam dan Negara ini, diantaranya :
§  Islam bukanlah semata-mata agama yang menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi  ia sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara.
§  Islam adalah agama yang tidak ada hubunganya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang rasul biasa, seperti rasul-rasul sebelumnya dengan tugas tunggal, mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menunjukan tinggi budi pekerti , dan nabi tidak bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai satu Negara.
§  Di dalam islam tidak terdapat system kenegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika  bagi kehidupan bernegara.

a.      Prinsip-prinsip Pemerintahan Islam
Dalam melaksanakan kewajibanya sebagai kepala Negara maka harus mampu mengembangkan prinsip-prinsip sebagai berikut, diantaranya:
1)      Demokrasi . kebijakan Negara senantiasa didasarkan atas aspirasi kepentingan rakyat  banyak. Tanpa demokrasi , kepemimpinan akan berjalan secara dictator dan aspirasi rakyat akan menjadi jauh dari kenyataan.
2)      Keadilan. Keadilan merupakan prinsip yang signifikan dan harus ditegakan di dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Rasa keadilan harus dapat dirasakan oleh masyarakat banyak, bukan oleh masyarakat tertentu. Seorang pemimpin yang yang tidak dapat menjalankan roda kepemimpinanya dengan adil maka dengan sendirinya ia telah melakukan kedzaliman.
3)      Musyawarah. Permusyawaratan merupakan prinsip yang harus dikembangkan dalam pelaksanaan kepemimpinan. Dengan mustawarah, segala persoalan relatif dapat dipecahkan secara bersama sehingga sehinnga konsekwensi atas hasil musyawarah dapat dirasakan serta ditanggung bersama.
4)      Konstitusional. Kebijakan pemimpin senantiasa mengacu pada landasan konstitusi yang berlaku sehingga segala langkah pemimpin tidak didasarkan atas nafsu atau kepemimpinanya semata. Hal ini dipahami bahwa lembaga kepemimpinan sebuah Negara merupakan institusi formal yang memiliki landasan- landasan yuridis dan segala ketentuan yang diberlakukan.
5)      Kesetaraan. Regulasi dan praktek kepemimpinan  senantiasa didasarkan atas prinsip kesetaraan, baik laki-laki maupun perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan sebuah kepastian, tetapi bukanlah menjadi alas an untuk melakukan diskriminasi dan penindasan terhadap jenis kelamin  tertentu. Kesetaraan dan kederajatan antara laki-laki dan perempuan dalam penyelenggaraan kennegaraan merupakan starting point dalam  mewujudkan masyarakat yang beradab.
6)      Kesamaan di muka hokum. Setiap masyarakat harus mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum. Supremasi hokum harus ditegakan dengan tanpa pandang bulu. Hokum merupakan harga mati yang tidak dapat diperjualbelikan di dalam menentukan keadilan di masyarakat banyak.
7)      Saling menghormati dan menghargai antar kelompok masyarakat yang berbeda, baik factor suku, ras, agama, warna kulit, bahasa, dat, maupun pola pandang hidup. Menghargai perbedaan merupakan karakteristik masyarakat Negara yang dewasa dan berkeadaban.
8)      Pemerataan. Distribusi pembangunan dan hasil-hasil penyelegaraan bernegara harus dapat disebarkan secara merata kepada semua kelompok masyarakat tertentu. Dengan prinsip pemerataan, ras acemburu dan kerawanan social relative ringan terjadi.
9)      Gotong royong dan kebersamaan. Penyelegaraan Negara senantiasa mengacu pada prinsip gotong royong dan sikap kebersamaan. Semua elemen dan kelompok masyarakat diupayakan terlibat di dalam proses penyelengaraan bernegara. Tanpa kedua sikap ini, Negara akan rentan terjadinya kerusuhan social.

b.      Kriteria Kepala Negara
      Syarat- syarat utuk menjadi seorang calon kepala negara secara umum diantaranya ialah:
1)      Bersifat adil ( Al- adlah)
2)      Sifat adil merupakan persyaratan terpenting. Tanpa persyaratan al- adlah proses yang baik dalam kepemimpinan Negara sulit terlaksana. Sifat adil itu pertama- tama tercermin dalam tingkat pribadi dalam bentuk kemampuanya menjaga keserasian dan keseimbangan mental. Kemampuan ini  membuktikan keunggulan akalnya dalam mengatur kecenderunngan hawa nafsu ( emosi). Secara praktis, keadilan ini terlihat dalam praktek kehidupan sehari-harinya yang mengutamakan kebaikan dan menghindari keburukan. Dengan kata lain,dalam konteks social kemasyarakatan, keadilan seorang kepala Negara berarti keserasian dan keseimbanganya dalam mengusahakan kesejahteraan dan kebahagian Negara dengan perlakuan- perlakuan yang tidak menyulitkan warga tersebut.
3)      Berpengetahuan ( al-Alim)
4)      Kapasitas berpengetahuan yang luas ini sangat diperlukan oleh seorang pemimpin untuk mendukung kemampuanya dalam  berijtihad, berpikir secara independen yang diperlukan setiap saatoleh seorang kepala Negara. Dalam proses pengambilan keputusan dan kebijaksanaan, ijtihad seorang kepala Negara mutlak diperlukan disamping pandangan-pandangan (opini) yang sudah berkembang. Jika seorang kepala Negara tidak memiliki wawasan atau kemampuan yang cukup dikhawatirkan dia akan mudah mengabaikan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan pemerintahanya, yang pada giliranya akan mengarah pada penanganan masalah- masalah kenegaraaan yang tidak seimbang.
5)      Memiliki kemampuan mendengar, melihat, dan berbicara secara sempurna, sehingga ia mengenali masalah dengan teliti dan mampu mengkomunikasikanya dengan baik dalam proses penentuan hukum.
6)      Mempunyai kondisi badan (fisik) yang sehat,yang menjamin pergerakan tubuhnya secara bebas.
7)      Memiliki kebijaksanaan dan wawasan yang memadai untuk mengatur kepentingan rakyat dan mengarahkan kepentingan umum.
8)      Memiliki keberanian untuk melindungi wilayah kekuasaan Negara dan untuk mempertahankanya dari serangan musuh.
Dalam hal ini memang tidak dilihat genre apakah dia seorang laki-laki ataupun seorang perempuan. Namun pada zaman Nabi Muhammad SAW perempuan tidak pernah ada yang menjadi seorang kepala pemerintahan. Walaupun pada kenyataannya banyak perempuan-perempuan pada zaman itu yang memiliki kreadibilitas yang tidak dapat diragukan.
Bahkan Nabi SAW bersabda.
أَمْرَهُمُ لَنْ يُفْلِحَ يَوْمٌ وَلَّوْا امْرَأَةً.
"Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita." (HR. Bukhari).
Namun bukan berarti hadits tersebut mengisyaratkan bahwa wanita itu menempati kedudukan hina. Melainkan semua itu adalah kasih sayang yang diberikan kepada mereka mengingat tugas kepala negara sangatlah berat apalagi pada saat itu seorang pemimpin dituntut untuk memimpin perang. Sehingga yang dimaksud dengan pemimpin negara dalam Islam ialah harus seorang laki-laki.
c.       Peran Pemimpin (Kepala Negara)
Menurut perspektif Islam ada dua peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin:
1)      Pelayan (Khadim)
Pemimpin adalah pelayan bagi pengikutnya. Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain, belum tentu hal tersebut sebagai tanda kemuliaan. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya. Seorang pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras, dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan lebih mendalam dibanding orang yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.
2)      Pemandu (Muwajjih)
Pemimpin adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya untuk menunjukkan jalan yang terbaik agar selamat sampai di tujuan tentu saja itu baru tercapai dengan sempurna jika di bawah naungan syariat Islam.

  1. Kepemimpinan dalam Shalat
“Dari Abu Khurairah ra ia berkata : Nabi SAW bersabda sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti, apabila ia bertakbir (takbiratul ihram) maka bertakbirlah kalian, apabila ia berkata “sami’allahu liman hamidah”ucapkanlah “rabbana wa lakal hamdu” dan apabila imam sujud maka sujudlah kalian, dan apabila imam shalat sambil duduk maka duduklah kalian semuanya.”(HR.Muttafaq alaih)
Begitu tingginya kedudukan imam dalam shalat berjamaah, maka dalam hadits lain Rasulullah mengingatkan bahwa siapa yang mendahului imam baik dalam takbiratul ihram, dalam ruku, dan sujud; atau mendahului dalam gerakan shalat lainnya dinyatakan shalatnya tidak sah.
Kemudian siapa yang berwenang menjadi imam Nabi telah menentukan Kriteria  sebagai berikut:
“Dari Ibn Ma’ud ra berkata : Rasulullah SAW bersabda mengimami kepada kaum itu siapa yang paling fasih dan menghafal dalam membaca kitab Allah (Al-Qur’an), dan apabila sejajar dalam bacaan maka dahulukan yang paling memahami sunnah, dan apabila sejajar dalam memahami sunnah, maka dahulukan yang lebih dahulu hijrah, dan apabila masih sejajar, maka dahulukan yang paling tua usianya, dan jangan sekali-kali seorang menjadi imam di wilayah kekuasaan orang lain, dan jangan pula menjadi imam di rumah orang lain kecuali ada izin dari pemiliknya.”(HR.Ahmad dan Muslim)
Berdasarkan hadits di atas urutan-urutan kewengan menjadi imam dalam shalat itu adalah:
  1. Yang mempunyai kelebihan membaca dan memahami Al-Quran;
  2. Yang mempunyai kelebihan memahami sunnah;
  3. Yang lebih dahulu hijrah; dan kalau masih sama
  4. Yang paling tua usianya.
Selain itu jangan sampai seorang imam nyelonong menjadi imam di tempat orang tanpa izin pengurusnya atau pemiliknya.
Hal-hal yang harus diperhatikan imam
  1. Memperhatikan tertib urutan surat atau ayat sesuai dengan urutan dalam mushaf yang dibaca pada rakaat pertama, dan kedua setelah surat Al-Fathihah, misalnya pada rakaat pertama surat at-Takatsur setelah al-Fathihah dan pada rakaat kedua surat al-Ashr setelah al-Fathihah, boleh loncat tetapi tetap maju tidak mundur, umpamanya rakaat pertama surat al-Kafirun rakaat kedua al-Ikhlas (HR.Ibnu Majah)
  2. Memperhatikan panjang pendek surat yang dibaca setelah fathihah, surat yang dibaca pada rakaat pertama setelah al-Fathihah harus lebih panjang dibandingkan dengan surat yang dibaca pada rakaat kedua (HR.Ahmad, Muslim, Ibnu Majah dan Nasai)
  3. Memperhatikan shaf jamaah makmum, shaf atau barisan makmum agar lurus dan rapat, imam mengambil posisi di tengah di depan jamaah/makmum, apabila shaf pertama penuh, tersisa seorang, makmum tidak boleh di belakang sendirian, harus ada yang mundur seorang ke belakang berdiri di belakang imam dan shaf depan dirapatkan kembali.(HR.Bukhari dan Muslim)
  4. Memperhatikan keadaan jemaah, karena mungkin jemaah ada yang sakit, yang lemah tidak kuat lama berdiri, atau mungkin ada yang punya keperluan, jangan terlalu panjang bacaannya.(HR.Jamaah)
  5. Apabila makmum terdiri dari laki-laki dan perempuan dan anak-anak, baris terdepan diisi oleh laki-laki dewasa dan anak laki-laki, perempuan ditempatkan yang paling belakang.(HR.Ahmad dan Abu Dawud)
Demikian hal-hal yang harus menjadi perhatian imam, dalam shalat berjamaah, terutama apabila makmumnya banyak seperti pada shalat jumat atau salat iedain.

  1. Kepemimpinan dalam Keluarga
a.      Kepemimpinan Pria dan Kelebihannya dari Wanita
Kepemimpinan dalam keluarga sebagian besar diambil alih oleh keluarga disebabkan oleh kelebihannya dibanding perempuan. Latar belakang pelebihan derajat tersebut karena Allah telah memberikan kelebihan kepada sebagian yang lain, dan karena mereka (para laki-laki) memberi nafkah dari hartanya. Karena itu wanita-wanita yang saleh, taat beribadah, mampu menjaga amanat dan kehormatannya di saat suaminya beper khan sebagaimana Allah menjaganya melalui firmannya”..dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusujnya, berilah mereka peringatan kemudian jauhilah mereka di tempat tidurnya. Dan (kalau mereka tetap begitu) pukullah mereka tapi jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan dirinya. Sesungguhya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. (QS.An Nisa:34)
            Dalam juz V tafsir al-Manar  di jelasakan bahwa “ sudah merupakan ketentuan bagi kaum pria untuk menjadi pemimpin bagi kaum wanita dengan memberikan perlindungan dan pemeliharaan terhadap mereka. Salah satu diantara kewajiban-kewajiban itu, bagian mereka harta pusaka lebih besar dari kaum wanita disebabkan mereka mesti memberikan nafkah kepada wanita, dan tidak sebaliknya. Latar belakang pemberian kelebihan kaum pria atas ini, adalah mengakar pada asal kejadiannya. Allah memberikan anugerah kepada pria berupa kemampuan dan kekuatan yang tidak dimiliki kaum wanita. Karena itu perbedaan kewajiban dan hukum adalah diakibatkan oleh adanya perbedaan fitrah kejadian dan perangkat-perangkat yang dimilikinya. Ada pula sebab lain yang sifatnya bisa diusahakan yang mendukung sebab fitrah itu, yakni nafkah yang diberikan kaum pria kepada kaum wanita. Mahar, adalah pemberian kepada kaum wanita seiring dengan akad nikah yang menempatkan kaum wanita di bawah kepemimpinan kaum pria. Syariat Islam mendukung mendukung kaum wanita dalam tempat yang terhormat, sebab Islam hanya mewajibkan kepada mereka hal-hal yang sesuai dengan fitrahnya serta demi terciptanya ketertiban kehidupan melalui pembagian tugas dimana suaminya menjadi pemimpin baginya. Ini, sudah menjadi tradisi yang diberlakukan umat manusia demi kemaslahatan mereka, seakan-akan kaum wanita memang ditentukan untuk tidak memiliki persamaan yang penuh, dan kaum pria dianugerahi kelebihan satu derajat berupa kepemimpinan, dan itu diganti dengan pemberian materi kepada kaum wanita. Allah berfirman: seperti halnya mereka mereka mepunyai kewajiban terhadap suaminya dengan sepatutnya, namun pria memiliki kelebihan satu derajat diatas mereka.” (Q.S.Al-Baqarah:228). Dalam ayat ini Allah meninggikan kaum pria satu derajat dari kaum wanita sesuai dengan fitrahnya. Karena itu penghormatan kaum pria kepada kaum wanita berupa pemberian-pemberian itu menjadi ganti yang sepadan bagi kaum wanita. Ini ditempatkan sebagai tradisi yang serasi di kalangan ummat manusia agar kaum wanita berjiwa bersih dan bisa memenuhi fungsinya sebagai penenang kalbu. Disini tidak dikatakan, bahwa fitrah ini tidak memaksa kaum wanita mesti menerima akad pernikahan yang menyebabkan wanita berada di bawah kepemimpinan kaum pria tanpa imbalan apapun, sebab kita masih melihat adanya sejumlah kaum wanita dari berbagai bangsa yang justru memberikan mahar kepada kaum pria agar dengan itu mereka bisa merebut kepemimpinan dari tangan kaum pria.”
Imam Muhammad Abduh mengatakan : “yang dimaksud dengan kepemimpinan disini, adalah kepemimpinan dimana orang yang dibawahinya bisa melakukan tindakan sesuai dengan aspirasi dan kehendak dirinya dan bukan berarti ia dipaksa mengikuti kehendak yang telah digariskan oleh orang yang memimpinnya. Seperti halnya ungkapan ‘seseorang menjadi pemimpin orang lain “adalah mengandung arti pemberian petunjuk dan pengawasan dalam melaksanakan tugas-tugas yang didireksi tersebut. Yang juga termasuk dalam hal ini, adalah memelihara rumah tanpa boleh meningglakannya sekalipun dengan tujuan mengunjungi kaum kerabat, kecuali dalam waktu-waktu dan keadaan yang telah diizinkan oleh suaminya.
            Selanjutnya Imam Muhamad Abduh mengatakan pula bahwa yang dimaksud dengan pemberian kelebihan sebagian diantara mereka atas sebagian yang lain adalah kelebihan yang diberikan kaum pria atas akum wanita. Dan kalau seandainya penyataan ini diungkapkan dengan redaksi “ dengan kelebihan mereka atas kaum wanita” atau “ dengan dilebihkanya kaum pria atas wanita”, niscaya maknanya akan lebih tegas dan jelas lagi seperti yang dimaksudkan syeh Muhammad Abduh diatas. Akan tetapi memang ada hikmah yang termuat dalam ungkapan itu yang tercermin dalam firmanya “ dan janganlah kamu berangan- angan dan iri hati ats kelebihan yang dikaruniakan kepada sebagian diantara kamu dari yang diberikan kepada sebagai yang lain …. “ ( Q.S an- Nisa: 32). Ungkapan ini memberi arti bahwa kedudukan kaum wanita disisi kaum pria adalah laksana organ tubuh dalam raga yang satu. Kaum pria sebagai kepala sedangkan kaum wanita sebagai badanya.
            Saya sendiri berpendapat bahwa kaum pria tidak dibenarkan berlaku sewenang-wenang terhadap kaum wanita lantarana kelebihan yang mereka miliki. Sebaliknya, kaum wanita pun tidak dibenarkan pula meremehkan kelebihan yang dimiliki kaum pria, lalu berusaha menundukan kaum pria melui kelebihan yang mereka miliki tersebut. Tidak ada salahnya bagi seseorang untuk, misalnya menyatakan bahwa kepalanya punya kelebihan dari tanganya, dan hatinya mempunyai kelebihan dari perutnya. Sebab, kelebihan fungsi jasmaniyah yang menempatkan sebagian dari tubuh itu sebagai “kepala” bagi yang lain, hanyalah demi kepentingan bersama, dimana tidak ada satu bagianpun tubuh yang diperlukan secara aniaya tetapi semuanya itu dilakukan untuk merealisasikan kemampaatanya seluruh anggota tubuh. Kelebihan kaum pria dalam hal kemampuan mencari nafkah dan kekuatan memberikan perlindungan telah menjadikan kaum wanita dengan lebih mudah menjalankan fungsi fitrahnya : hamil, melahirkan, dan mengasuh anak, serta dengan itu kaum wanita bisa tentram berada di rumah serta tercukupi seluruh kebutuhan rizkinya. Selain itu, dalam ungkapan di atas, terdapat pula hikmah yang lain, yakni isyarat bahwa kelebihan serupa itu hanya berlaku secara general, tidak secra individual sebab sbanyak pula kita temukan wanita yang memilki kelebihan dari suaminya baik dalam ilmu pengetahuan maupun profesinya, kekuatan pisik dan kemampuan bekerja.

b.      Kepemimpinan Kaum Pria dalam Keluarga Bersifat Musyawarah dan Bukan Diktator
Berbagai nash yang terkandung dalam kitabullah dan sunnah Rasul menempatkan pengaturan rumah tangga itu terikat oleh perintah dan larangan syara serta konvensi-konvensi sosial tentang kerumahtanggaan yang berlaku di masyarakat untuk tujuan yang baik, dan memlihara  kehormatan baik dalam suasana penuh kasih sayang maupun benci. Allah berfirman: “…pergaulilah mereka dengan baik, dan jika kamu tidak menyukai mereka, maka bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu yang justru banyak kebaikan ditempatkan Allah di dalamnya”(QS.An-Nisa:19). Sementara itu Nabi SAW bersabda :”janganlah seorang mukmin saling  pukul-memukul dengan seorang mukminah: kalau ia tidak menyukai salah satu perangainya, pasti ia menyukai perangainya yang lain”(HR.Muslim dari Jabir). Hadits ini senada dengan ayat tersebut di atas. Larangan yang ada didalamnya, dibangun atas prinsip bahwa ikatan perkawinan itu merupakan sarana membina kasih sayang yang sempurna, dan kalau hal itu dilarang, maka hendaknya suami istri itu menjauhi hal-hal yang menyebabkan timbulnya kebencian dan permusuhan. Secara khusus, Nabi menunjukan larangan mencakar atau memukul ini kepada kaum pria karena perhatian beliau yang demikian besar kepada kaum wanita.
c.       Kepemimpinan Laki-laki Terhadap Seluruh Anggota Keluarga
Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 34
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

Ayat tersebut di atas salah satunya menjelaskan tentang kepemimpinan seorang pria terhadap wanita. Di dalam tafsir Jalalain karangan Imam Jalaludin Al-Mahalli dan Imam Jalaludin As-suyuthi dirangkan bahwa ”  šcqãBº§qs%A%y`Ìh9$# (kaum laki-laki menjadi pemimpin) artinya mempunyai kekuasaan             Ïä!$|¡ÏiY9$#n?tã(terhadap kaum wanita) dan berkewajiban mendidik dan membimbing mereka       <Ù÷èt/n?tãOßgŸÒ÷èt/ ª !$# Ÿ @žÒsù  $yJÎ/ (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian kamu atas lainnya) yaitu mereka laki-laki atas wanita, baik dengan ilmu maupun akal budi, kekuasaan dan sebagainnya…”

Uraian tersebut kita tahu bahwa terdapat dua makna memimpin yang diperintahkan kepada laki-laki yakni mendidik dan membimbing.

"Seorang lelaki itu adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya." (Muttafaq 'Alaih).

Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Semua orang dari engkau sekalian itu adalah penggembala dan semuanya saja akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang imam - pemimpin - adalah penggembala dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang lelaki adalah penggembala dalam keluarganya dan akan ditanya tentang penggembalaannya, seorang isteri adalah penggembala di rumah suaminya dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang pelayan juga penggembala dalam harta tuannya dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Maka semua orang dari engkau sekalian itu adalah penggembala dan akan ditanya tentang penggembalaannya." (Muttafaq 'alaih)
Menurut hadits ini wanita juga merupakan seorang pemimpin di dalam rumah suaminya. Yang dimaksud mengembala disini adalah membimbing mendidik dan menuntun. Seorang istri berkewajiban mendidik anak-anaknya sementara suami mendidik istri dan anaknya.
Berkenaan dengan mendidik anak tentu saja ada saat-saat siapa yang lebih berkewajiban untuk mendidik anak. Menurut psikologi kognitif anak usia 0-2 tahun merupakan masa skema sensori-motori dimana anak bersifat terbuka dalam merespon dan menanggapi lingkungannya. Sehingga ia akan menerima begitu saja apa yang diberikan lingkungan kepadanya. Tanpa ada pandangan sendiri. Hal ini senada dengan perintah Allah bahwa seorang ibu sebaiknya menyusui anaknya sampai usia 2 tahun. Oleh karena itu pada masa ini sang ibulah yang berkewajiban mendidik anaknya.
Sedangkan ketika menginjak usia anak-anak dengan meneladani Lukmanul Hakim alangkah baiknya jika itu dilakukan oleh sang ayah. Sebagaimana yang tergambar dalam QS. Lukman ayat 13-15 Lukman memberikan nasehat kepada anaknya tentang nilai-nilai dasar tauhid dan juga Islam. Dan hal ini tak mungkin dilakukan kepada anak yang baru berusia 4 tahun ke bawah. Pendidikan dilakukan secara verbal baru bisa dilakukan pada saat anak mengalami tinggkar perkembangan moral/sosial pertamanya yakni 4 sampai 7 tahun (Muhibbin Syah, 1999). Saat itu seorang anak memiliki karakteristik psikologis sebagai berikut:
(i)                 memusatkan pada akibat-akibat perbuatan,
(ii)               aturan-aturan dipandang tidak berubah,
(iii)             hukuman atas pelanggaran dipandang bersifat otomatis.

  1. Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam
Kepemimpinan perempuan telah lama menjadi pembicaraan ulama, klasik maupun kontemporer. Imam mazhab membahas tentang boleh atau tidaknya seorang perempuan menjabat sebagai hakim [wilâyah al-qadhâ], maka ulama sesudahnya seperti al-Mawardi (w. 450) dan Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) sebagai peletak dasar teori politik Islam membicarakan lebih luas lagi seperti persyaratan untuk menjadi kepala negara, “ wizârah al tafwîdz” (perdana menteri), “wizârah al-tanfîz” (menteri), “ ahl al-halli wa al-aqdi” atau “ahl al-ikhtiyah” (lembaga yang berkewajiban memilih kepala negara, menetapkan undang-undang dan kebijakan politik negara). Sedangkan ulama kontemporer lebih disibukan dengan persoalan boleh atau tidaknya seorang perempuan menjabat sebagai kepala negara.
Sampai hari ini, belum diketahui ada pendapat para ulama mazhab yang tidak memperbolehkan perempuan menjabat sebagai kepala negara. Pendapat ini didukung oleh banyak ulama terkemuka, misalnya Imam al-Ghazali yang menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah) tidak bisa dipercayakan kepada perempuan walaupun memiliki berbagai sifat kesempurnaan dan kemandirian. Menurut tokoh yang dijuluki hujjat al Islâm ini, bagaimana perempuan mencalonkan diri untuk jabatan pemimpin sementara ia tidak memiliki hak pengadilan dan kesaksian dalam kasus hukum.
Larangan bagi perempuan untuk menjabat kepala negara ternyata tidak hanya diributkan dalam kitab-kitab fiqh politik klasik, tetapi dalam kitab-kitab fiqh politik kontemporer pun perempuan sebagai pemimpin masih dipertanyakan. Wahbah al-Zuhaily, misalnya dalam kitab Nizhâm al-islâm menyebutkan tujuh syarat untuk menjadi kepala negara. Ketujuh syarat tersebut adalah :
a.       Seorang pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan yang sempurna
b.      Muslim
c.       Merdeka
d.      Baligh
e.       Berakal
f.       Laki-laki

Adanya syarat laki-laki menurut beliau, disebabkan oleh karena beban menjadi pemimpin membutuhkan kemampuan yang besar yang tidak mungkin ditangggung seorang perempuan. Selain itu juga seorang perempuan tidak bisa menjalankan tugas-tugas berat lainnya, seperti ikut berperang dan pekerjaan lain yang beresiko tinggi.
            Ada beberapa argument yang dipakai oleh ulama untuk memperkuat pandangan mereka mengenai larangan perempuan menjadi kepala negara.
Firman Allah SWT dalam QS.al-Nisa ayat 34
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& `ÏNÎgÏ9ºuqøBr& 4 
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”.
            Menurut para ulama, term qawwâm berarti pemimpin, pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain yang semakna. Mereka mengatakan bahwa kelebihan yang dimilki laki-laki atas perempuan adalah karena keunggulan akal dan fisiknya. Akal dan pengetahuan yang dimiliki laki-laki, menurut mereka melebihi akal dan pengetahuan perempuan, dan untuk pekerjaan-pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna. Oleh karena itulah hanya laki-laki yang bisa menduduki jabatan kepala negara.
 Firman Allah SWT  yang lain dalam QS.al-Baqarah ayat 228:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ
Dan kaum perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai derajat satu tingkat di atas mereka”.
            Ayat ini mengandung pengertian bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, baik dari segi kedudukan, tingkatan ketaatan, pencarian nafkah, maupun dalam hal penciptaan kemaslatan.
            Dalam salah satu hadits Nabi SAW dari Abu Bakrah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, yang berbunyi:
“Tidak akan berbagai suatu masyarakat yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.
            Hadis ini mengisyaratkan bahwa perempuan tidak dibolehkan mengurusi persoalan-persoalan public, hingga kapanpun. Kepemimpinan social yang dipercayakan kepada perempuan dianggap akan menimbulkan kerugian dan mudarat.

Ijma’
            Dalam ijma’ telah disepakati bahwa pengalaman praktek Islam dari masa Nabi SAW, khulafâ al-râsyidûn hingga generasi sesudahnya tidak pernah melibatkan perempuan dalam menyelesaikan urusan social-politik. Memang, pada masa Muhammad saw banyak perempuan yang cemerlang dalam peradaban maupun pemikiran, seperti istri-istri Rasul saw, tetapi mereka tidak pernah bergabung dalam urusan politik. Mereka juga tidak pernah diajak untuk terjun ke dalamnya.

Qiya
            Dalam tradisi fiqih Syafi’I, qiyas memang menjadi salah satu landasan hukum Islam. Sebagai misal, perempuan tidak boleh menjadi kepala negara karena perempuan tidak boleh menjadi imam shalat. Kemudian, perempuan tidak dibolehkan  pergi sendirian ke luar rumah tanpa ditemani suaminya atau keluarga muhrimnya.
            Semua dalil di atas saling kait mengait dalam memperkuat argumentasi ketiakbolehan perempuan dalam memegang pemimpin publik. Baik ayat, hadits, ijma’, maupun qiyas, semuanya mengisyaratkan bahwa jabatan sebagai kepala negara hanya dimungkinan bagi laki-laki.


Eksitensi Perempuan dalam Islam
            Sepenjang sejarah Islam, banyak kaum perempuan yang menjadi cendekiawan, ahli hukum dan secara tidak langsung bisa disebut pemimpin. Tradisi Islam yang kaya dengan keterlibatan perempuan. Seorang muslimah yang memegang teguh ajaran Islam sudah pasti memahami bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang saling melengkapi yang sudah ditetapkan oleh Allah swt dan Allah swt memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki maupun perempuan untuk mencapai tujuan akhir dari kehidupan mereka yaitu kehidupan abadi di akhirat.
            Dalam Al-qur’an, Allah swt menetapkan bahwa keshalehan dan bukan gender yang dijadikan pertimbangan utama dalam menentukan siapa yang terbaik di mata-Nya. Dengan perbedaan – perbedaan antara kaum laki - laki dan perempuan, Allah swt menyatakan bahwa kedudukan lelaki dan perempuan sama di sisi Allah swt.
            Islam menyamakan laki-laki dan perempuan dalam hal kewajiban hukum (syariat) dan balasan yang akan mereka terima. Firman Allah swt.,
            “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”(Q.S. Al Ahzab 33:35)
            Laki-laki dan perempuan memiliki asal yang sama, seperti yang dijelaskan dalam surat An-Nisaa 4:1, yaitu :
            “ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu ( min nafsin wahidatin) dan darinya Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki dan wanita”
            Laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang saling mendukung, saling melindungi, saling menyukai. Laksana pakaian di tubuh yang berfungsi sebagai sarana menampilkan kelebihan dan menutupi kekurangan masing-masing. Jadi, dalam hal ini laki-laki dan perempuan harus saling bekerja sama.
            Wanita tidak lebih rendah derajatnya karena dinafkahi oleh suaminya, sebagaimana dijelaskan dalam Surat An-Nisaa ayat 32,
            “ Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. Bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
            Jadi, memang sudah tanggung jawab ekonomi keluarga diletakkan di pundak laki-laki, tetapi keberhasilan tugas itu sepenuhnya didukung oleh istri dan anak-anak.
            Tanggung jawab terbesar di muka bumi diletakkan di pundak wanita, mulai dari kehamilan, melahirkan, menyusui, membesarkan, dan mendidik generasi umat manusia. Seorang perempuan itu sangat mulia, cinta kasih dan pengorbanan mereka tidak bisa diganti dengan nilai apa pun. Al Quran mengakui pergulatan nadi kehidupan seorang ibu ketika ia menanggung amanah kelangsungan keturunan manusia.
            Kaum ibu mempunyai kedudukan yang agak berbeda dan  khas karena Allah swt. telah menempatkan posisi kaum ibu setara dengan para mujahidah bila ia menjalankan perannya sebagai ibu dan istri dengan baik,
            “ Siapa di antara kalian para istri dan ibu ikhlas di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya maka ia akan mendapat pahala yang kadarnya sama dengan para mujahidin di jalan Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
            Jadi, perempuan itu setara dengan laki-laki hanya iman dan takwanyalah yang membedakannya. Walaupun pada kadratnya laki-laki merupakan seoarang pemimpin, pembimbing, pengayom, pelindung, tetapi perempuan juga berperan besar sebagi motivator, pendamping, dan pendukung sehingga terjadi keserasian harmonisasi dan penyeimbang kaum laki-laki.






BAB III
PENUTUP

Simpulan
Pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam mendapat perhatian cukup besar. Karena dalam Islam pada hakikatnya merupakan pemimpin. Entah itu dalam pemerintahan, keluarga, institusi, atau bahkan hanya memimpin dirinya sendiri. Dan tentunya manusia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin nya di hadapan di hadapan Allah Yang Maha Esa.
Di dalam Islam kepemimpinan dibatasi dan diatur oleh Agama. Tidak setiap orang secara idealnya bisa memimpin orang lain (ummat). Setiap calon pemimpin harus memiliki criteria-kriteria tertentu yang sudah ditentukan. Hal ini dimungkinkan agar memperoleh suatu kepemimpinan yang adil, bersih, harmonis, dan ideal. Walaupun realitanya tidakalah demikian, namun setidaknya dengan adanya klasifikasi pemimpin yang ideal itu akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang mendekatai keidealan.
Saat ini kepemimpinan bukan saja hanya dipegang oleh seorang laki-laki. Wanita pun sudah banyak yang berkiprah sebagai pemimpin. Mereka tidak hanya pemimpin bagi anak-anak mereka di keluarga. Tetapi mereka juga memimpin organisasi-organisasi yang lebih besar (seperti: perusahaan, pemerintahan, dll). Meskipun wanita sudah diberikan kesempatan untuk memimpin selayaknya ia tidak melupakan kodratnya sebagai wanita, sehingga ia tidak terlalu jauh melangkah.
Wallahu a’lam







Daftar Pustaka
Rasyid, Sulaiman.2008.Fiqh Islam.Sinar Baru Algesindo
Fukoro, Abal.2003.Penegakan Syariat Islam (kepemimpinan Islam)
Agustina, Sasa Esa.2006.Wanita (Antara Cinta dan Keindahan). Bandung: Khazanah Intelektual
Syah, Muhibbin.1999.Psikologi Belajar.Jakarta: Rajawali Pers
Ridha, Muhammad Rasyid.1986.Panggilan Islam Terhadap Wanita.Bandung: Penerbit Pustaka
Al-Mahalli, Jalaludin dan As-Suyuti, Jalaludin.2007.Tafsir Jalallain (Jilid 1). Bandung: Sinar Baru Algesindo
Sopyan, Yayan, dkk..2005.Pengantar Fiqh. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah
Abdurrahman.2008.Risalah Khutbah dan Doa. Bandung: Universitas Islam Bandung

Komentar

Postingan Populer