KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
A.
Pemimpin
Secara Umum
- Pengertian Pemimpin
Dalam bahasa Indonesia "pemimpin" sering disebut
penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak,
ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah
Memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan
dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama yaitu"pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Istilah pemimpin, kemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama yaitu"pimpin". Namun demikian ketiganya digunakan dalam konteks yang berbeda.
Pemimpin adalah suatu lakon/peran dalam sistem tertentu;
karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki ketrampilan
kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah Kepemimpinan pada dasarnya
berhubungan dengan ketrampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki
seseorang; oleh sebab itu kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang yang bukan
"pemimpin".
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan. (Kartini Kartono, 1994:181).
Arti pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/ kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan - khususnya kecakapan-kelebihan di satu bidang , sehingga dia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu untuk pencapaian satu beberapa tujuan. (Kartini Kartono, 1994:181).
Pemimpin jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris
menjadi leader, yang mempunyai tugas untuk me-lead anggota disekitarnya.
Sedangkan makna lead adalah:
a.
Loyality, seorang pemimpin harus mampu membagnkitkan loyalitas rekan
kerjanya dan memberikan loyalitasnya dalam kebaikan.
b.
Educate, seorang pemimpin mampu untuk mengedukasi rekan-rekannya dan
mewariskan tacit knowledge pada rekan-rekannya.
c.
Advice, memberikan saran dan nasehat dari permasalahan yang ada.
d.
Discipline, memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan
dalam setiap aktivitasnya
- Syarat dan Kriteria seorang pemimpin
Pimpinan yang dapat dikatakan sebagai pemimpin
setidaknya memenuhi beberapa kriteria,yaitu :
a.
Memiliki Pengaruh
: Seorang pemimpin adalah seorang yang memiliki orang-orang yang mendukungnya
yang turut membesarkan nama sang pimpinan. Pengaruh ini menjadikan sang
pemimpin diikuti dan membuat orang lain tunduk pada apa yang dikatakan sang pemimpin.
John C. Maxwell, penulis buku-buku kepemimpinan pernah berkata: Leadership is
Influence (Kepemimpinan adalah soal pengaruh). Mother Teresa dan Lady Diana
adalah contoh kriteria seorang pemimpin yang punya pengaruh.
b.
Mempunyai Kekuasaan/power
: Seorang pemimpin umumnya diikuti oleh orang lain karena dia memiliki
kekuasaan/power yang membuat orang lain menghargai keberadaannya. Tanpa kekuasaan
atau kekuatan yang dimiliki sang pemimpin, tentunya tidak ada orang yang mau
menjadi pendukungnya. Kekuasaan/kekuatan yang dimiliki sang pemimpin ini menjadikan
orang lain akan tergantung pada apa yang dimiliki sang pemimpin, tanpa itu mereka
tidak dapat berbuat apa-apa. Hubungan ini menjadikan hubungan yang bersifat simbiosis
mutualisme, dimana kedua belah pihak sama-sama saling diuntungkan.
c.
Wewenang :
Wewenang di sini dapat diartikan sebagai hak yang diberikan kepada pemimpin
untuk fnenetapkan sebuah keputusan dalam melaksanakan suatu hal/kebijakan. Wewenang
di sini juga dapat dialihkan kepada bawahan oleh pimpinan apabila sang pemimpin
percaya bahwa bawahan tersebut mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan
baik, sehingga bawahan diberi kepercayaan untuk melaksanakan tanpa perlu campur
tangan dari sang pemimpin.
d.
Pengikut :
Seorang pemimpin yang memiliki pengaruh, kekuasaaan/power, dan wewenang tidak
dapat dikatakan sebagai pemimpin apabila dia tidak memiliki pengikut yang
berada di belakangnya yang memberi dukungan dan mengikuti apa yang dikatakan
sang pemimpin. Tanpa adanya pengikut maka pemimpin tidak akan ada. Pemimpin dan
pengikut adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat berdiri
sendiri.
Sedangkan menurut Islam seorang pemimpin haruslah
meneladani sikap sang pemimpin sejati sepanjang masa, Nabi Muhammad SAW.
Sayarat-syarat tersebut yang menjadi sipat Rasulullah diantaranya ialah:
a.
S1DDIQ
artinya jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan;
b.
FATHONAH
artinya jerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan professional;
c.
AMANAH
artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel;
d.
TABLIGH
artinya senantiasa menyammpaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan
apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.
- Pemimpin Sejati
Seorang pemimpin dikatakan sebagai seorang pemimpin sejati jika dia
memiliki beberapa sipat berikut:
a.
Visioner:
Punyai tujuan pasti dan jelas serta tahu kemana akan membawa para pengikutnya.
Tujuan Hidup Anda adalah Poros Hidup Anda. Andy Stanley dalam bukunya
Visioneering, melihat pemimpin yang punya visi dan arah yang jelas, kemungkinan
berhasil/sukses lebih besar daripada mereka yang hanya menjalankan sebuah
kepemimpinan;
b.
Sukses
Bersama: Membawa sebanyak mungkin pengikutnya untuk sukses bersamanya. Pemimpin
sejati bukanlah mencari sukses atau keuntungan hanya bagi dirinya sendiri,
namun ia tidak kuatir dan takut serta malah terbuka untuk mendorong orang-orang
yang dipimpin bersama-sama dirinya meraih kesuksesan bersama;
c.
Mau Terus
Menerus Belajar dan Diajar (Teachable and Learn Continuous): Banyak hal
yang harus dipela ari oleh seorang pemimpin jika ia mau terus survive sebagai pemimpin
dan dihargai oleh para pengikutnya. Punya hati yang mau diajar baik oleh
pemimpin lain ataupun bawahan dan belajar dari pengalaman-diri dan orang-orang lain
adalah penting bagi seorang Pemimpin. Memperlengkapi diri dengan buku-buku
bermutu dan bacaan/bahan yang positif juga bergaul akrab dengan para Pemimpin
akan mendorong Skill kepemimpinan akan meningkat;
d.
Mempersiapkan
Calon-calon Pemimpin Masa depan: Pemimpin Sejati bukanlah orang yang hanya
menikmati dan melaksanakan kepemimpinannya seorang diri bagi generasi atau saat
dia memimpin saja. Namun, lebih dari itu, dia adalah seorang yang visioner yang
mempersiapkan pemimpin berikutnya untuk regenerasi di masa depan. Pemimpin yang
mempersiapkan pemimpin berikutnya barulah dapat disebut seorang Pemimpin
Sejati. Di bidang apapun dalam berbagai aspek kehidupan ini, seorang Pemimpin
sejati pasti dikatakan Sukses jika ia mampu menelorkan para pemimpin muda
lainnya.
- Kepemimpinan
1.
Pengertian
Kepemimpinan
Beberapa pendapat ahli mengenai kepemimipinan yakni, sebagai berikut
:
- Menurut John Piffner, Kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan mengarahkan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki (H.Abu Ahmadi,1999:124-125)
- Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24);
- Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti Kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281);
- Kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses, atau fungsi pada umumnya untuk mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. (Slamet, 2002: 29);
- Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7);
- Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 29);
- Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar supaya mereka mau diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu (Thoha, 1983:123);
- Kepemimpinan adalah sekumpulan dari serangkaian kemampuan dan sifat-sifat kepribadian, termasuk didalamnya kewibawaan, untuk dijadikan sebagai sarana dalam rangka meyakinkan yang dipimpinnya agar mereka mau dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya dengan rela, penuh semangat, ada kegembiraan batin, serta merasa tidak terpaksa. (Ngalim Purwanto ,1991:26).
Definisi tentang kepemimpinan
mengandung beberapa unsur pokok antara lain:
a.
Kepemimpinan
melibatkan orang lain dan adanya situasi kelompok atau organisasi tempat pemimpin
dan anggotanya berinteraksi;
b.
Di dalam
kepemimpinan terjadi pembagian kekuasaan dan proses mempengaruhi bawahan oleh
pemimpin; dan
c.
Adanya
tujuan bersama yang harus dicapai.
.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi perilaku seorang atau
sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu.
Kepemimpinan merupakan masalah sosial yang di dalamnya terjadi interaksi antara
pihak yang memimpin dengan pihak yang dipimpin untuk mencapai tujuan bersama,
baik dengan cara mempengafuhi, membujuk, memotivasi dan mengkoordinasi. Dari
sini dapat dipahami bahwa tugas utatna seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya
tidak hanya terbatas pada kemampuannya dalam melaksanakan program-program saja,
tetapi lebih dari itu yaitu pemimpin harus mempu melibatkan seluruh lapisan
organisasinya, anggotanya atau masyarakatnya untuk ikut berperan aktif sehingga
mereka mampu memberikan kontribusi yang positif dalam usaha mencapai tujuan.
2.
Prinsip-prinsip
Dasar Kepemimpinan
Karakteristik seorang pemimpin didasarkan kepada
prinsip-prinsip (Stephen R. Coney) sebagai berikut:
b.
Seorang
yang belajar seumur hidup : Tidak hanya melalui pendidikan formal, tetapi juga
diluar sekolah. Contohnya, beJajar melalui membaca, menulis, observasi, dan
mendengar. Mempunyai pengalaman yang baik maupun yang buruk sebagai sumber
belajar;
c.
Berorientasi
pada pelayanan : Seorang pemimpin tidak dilayani tetapi melayani, sebab prinsip
pemimpjn dengan prinsip melayani berdasarkan karir sebagai tujuan utama. Dalam
memberi pelayanan, pemimpin seharusnya lebih berprinsip pada pelayanan yang
baik;
d.
Membawa
energi yang positif : Setiap orang mempunyai energi dan semangat. Menggunakan
energi yang positif didasarkan pada keikhlasan dan keinginan mendukung
kesuksesan orang lain. Untuk itu dibutuhkan energi positif untuk membangun
hubungan baik. Seorang pemimpin hams dapat dan mau bekerja untuk jangka waktu
yang lama dan kondisi tidak ditentukan. Oleh karena itu, seorang pemimpin haras
dapat menunjukkan energi yang positif.
- Jenis-jenis Pemimpin dalam Islam
- Kepemimpinan dalam Pemerintahan
Islam sebagai sebuah agama yang menghantarkan para pemeluknya pada
kehidupan yang baik ( fi al- dunya hasanah), termasuk dalam tatanan kehidupan
politik kenegaraan, memiliki sejumlah
aturan dan nilai yang mengatur tentang hal itu. Diskursus mengenai relasi islam dan Negara ini di kalangan umat
islam telah melahirkan sejumlah teori. Menurut Munawir Sjadzali, setidaknya ada
tiga aliran mengenai relasi islam dan Negara ini, diantaranya :
§ Islam bukanlah semata-mata agama yang
menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi ia sempurna dan lengkap dengan pengaturan
bagi segala aspek kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara.
§ Islam adalah agama yang tidak ada
hubunganya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah
seorang rasul biasa, seperti rasul-rasul sebelumnya dengan tugas tunggal,
mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menunjukan tinggi
budi pekerti , dan nabi tidak bermaksud untuk mendirikan dan mengepalai satu
Negara.
§ Di dalam islam tidak terdapat system
kenegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
a. Prinsip-prinsip Pemerintahan Islam
Dalam
melaksanakan kewajibanya sebagai kepala Negara maka harus mampu mengembangkan
prinsip-prinsip sebagai berikut, diantaranya:
1) Demokrasi . kebijakan Negara senantiasa
didasarkan atas aspirasi kepentingan rakyat
banyak. Tanpa demokrasi , kepemimpinan akan berjalan secara dictator dan
aspirasi rakyat akan menjadi jauh dari kenyataan.
2) Keadilan. Keadilan merupakan prinsip
yang signifikan dan harus ditegakan di dalam penyelenggaraan kehidupan
bernegara. Rasa keadilan harus dapat dirasakan oleh masyarakat banyak, bukan
oleh masyarakat tertentu. Seorang pemimpin yang yang tidak dapat menjalankan
roda kepemimpinanya dengan adil maka dengan sendirinya ia telah melakukan
kedzaliman.
3) Musyawarah. Permusyawaratan merupakan
prinsip yang harus dikembangkan dalam pelaksanaan kepemimpinan. Dengan
mustawarah, segala persoalan relatif dapat dipecahkan secara bersama sehingga
sehinnga konsekwensi atas hasil musyawarah dapat dirasakan serta ditanggung
bersama.
4) Konstitusional. Kebijakan pemimpin
senantiasa mengacu pada landasan konstitusi yang berlaku sehingga segala
langkah pemimpin tidak didasarkan atas nafsu atau kepemimpinanya semata. Hal
ini dipahami bahwa lembaga kepemimpinan sebuah Negara merupakan institusi
formal yang memiliki landasan- landasan yuridis dan segala ketentuan yang
diberlakukan.
5) Kesetaraan. Regulasi dan praktek
kepemimpinan senantiasa didasarkan atas
prinsip kesetaraan, baik laki-laki maupun perempuan. Perbedaan jenis kelamin
merupakan sebuah kepastian, tetapi bukanlah menjadi alas an untuk melakukan
diskriminasi dan penindasan terhadap jenis kelamin tertentu. Kesetaraan dan kederajatan antara
laki-laki dan perempuan dalam penyelenggaraan kennegaraan merupakan starting
point dalam mewujudkan masyarakat yang
beradab.
6) Kesamaan di muka hokum. Setiap
masyarakat harus mendapatkan perlakuan yang sama di muka hukum. Supremasi hokum
harus ditegakan dengan tanpa pandang bulu. Hokum merupakan harga mati yang
tidak dapat diperjualbelikan di dalam menentukan keadilan di masyarakat banyak.
7) Saling menghormati dan menghargai antar
kelompok masyarakat yang berbeda, baik factor suku, ras, agama, warna kulit,
bahasa, dat, maupun pola pandang hidup. Menghargai perbedaan merupakan
karakteristik masyarakat Negara yang dewasa dan berkeadaban.
8) Pemerataan. Distribusi pembangunan dan
hasil-hasil penyelegaraan bernegara harus dapat disebarkan secara merata kepada
semua kelompok masyarakat tertentu. Dengan prinsip pemerataan, ras acemburu dan
kerawanan social relative ringan terjadi.
9) Gotong royong dan kebersamaan. Penyelegaraan
Negara senantiasa mengacu pada prinsip gotong royong dan sikap kebersamaan.
Semua elemen dan kelompok masyarakat diupayakan terlibat di dalam proses
penyelengaraan bernegara. Tanpa kedua sikap ini, Negara akan rentan terjadinya
kerusuhan social.
b. Kriteria Kepala Negara
Syarat- syarat utuk menjadi seorang calon
kepala negara secara umum diantaranya ialah:
1) Bersifat adil ( Al- adlah)
2) Sifat adil merupakan persyaratan
terpenting. Tanpa persyaratan al- adlah proses yang baik dalam kepemimpinan
Negara sulit terlaksana. Sifat adil itu pertama- tama tercermin dalam tingkat
pribadi dalam bentuk kemampuanya menjaga keserasian dan keseimbangan mental. Kemampuan
ini membuktikan keunggulan akalnya dalam
mengatur kecenderunngan hawa nafsu ( emosi). Secara praktis, keadilan ini
terlihat dalam praktek kehidupan sehari-harinya yang mengutamakan kebaikan dan
menghindari keburukan. Dengan kata lain,dalam konteks social kemasyarakatan,
keadilan seorang kepala Negara berarti keserasian dan keseimbanganya dalam
mengusahakan kesejahteraan dan kebahagian Negara dengan perlakuan- perlakuan
yang tidak menyulitkan warga tersebut.
3) Berpengetahuan ( al-Alim)
4) Kapasitas berpengetahuan yang luas ini
sangat diperlukan oleh seorang pemimpin untuk mendukung kemampuanya dalam berijtihad, berpikir secara independen yang
diperlukan setiap saatoleh seorang kepala Negara. Dalam proses pengambilan
keputusan dan kebijaksanaan, ijtihad seorang kepala Negara mutlak diperlukan disamping
pandangan-pandangan (opini) yang sudah berkembang. Jika seorang kepala Negara
tidak memiliki wawasan atau kemampuan yang cukup dikhawatirkan dia akan mudah
mengabaikan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan pemerintahanya, yang pada
giliranya akan mengarah pada penanganan masalah- masalah kenegaraaan yang tidak
seimbang.
5) Memiliki kemampuan mendengar, melihat,
dan berbicara secara sempurna, sehingga ia mengenali masalah dengan teliti dan
mampu mengkomunikasikanya dengan baik dalam proses penentuan hukum.
6) Mempunyai kondisi badan (fisik) yang
sehat,yang menjamin pergerakan tubuhnya secara bebas.
7) Memiliki kebijaksanaan dan wawasan yang
memadai untuk mengatur kepentingan rakyat dan mengarahkan kepentingan umum.
8) Memiliki keberanian untuk melindungi
wilayah kekuasaan Negara dan untuk mempertahankanya dari serangan musuh.
Dalam
hal ini memang tidak dilihat genre apakah dia seorang laki-laki ataupun seorang
perempuan. Namun pada zaman Nabi Muhammad SAW perempuan tidak pernah ada yang
menjadi seorang kepala pemerintahan. Walaupun pada kenyataannya banyak
perempuan-perempuan pada zaman itu yang memiliki kreadibilitas yang tidak dapat
diragukan.
Bahkan Nabi SAW
bersabda.
أَمْرَهُمُ لَنْ يُفْلِحَ يَوْمٌ
وَلَّوْا امْرَأَةً.
"Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita." (HR. Bukhari).
"Tidak akan beruntung kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita." (HR. Bukhari).
Namun bukan berarti hadits tersebut mengisyaratkan bahwa
wanita itu menempati kedudukan hina. Melainkan semua itu adalah kasih sayang
yang diberikan kepada mereka mengingat tugas kepala negara sangatlah berat
apalagi pada saat itu seorang pemimpin dituntut untuk memimpin perang. Sehingga
yang dimaksud dengan pemimpin negara dalam Islam ialah harus seorang laki-laki.
c. Peran Pemimpin (Kepala Negara)
Menurut perspektif Islam ada dua peran yang
dimainkan oleh seorang pemimpin:
1)
Pelayan
(Khadim)
Pemimpin
adalah pelayan bagi pengikutnya. Seorang pemimpin yang dimuliakan orang lain,
belum tentu hal tersebut sebagai tanda kemuliaan. Karena pemimpin yang baik
adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya. Seorang
pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan
orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih
keras, dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan lebih mendalam dibanding orang
yang dipimpinnya. Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam. Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu
ingin mendapatkan dan mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.
2)
Pemandu
(Muwajjih)
Pemimpin
adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya untuk menunjukkan jalan
yang terbaik agar selamat sampai di tujuan tentu saja itu baru tercapai dengan
sempurna jika di bawah naungan syariat Islam.
- Kepemimpinan dalam Shalat
“Dari Abu Khurairah ra ia berkata : Nabi SAW bersabda sesungguhnya
imam itu dijadikan untuk diikuti, apabila ia bertakbir (takbiratul ihram) maka
bertakbirlah kalian, apabila ia berkata “sami’allahu liman hamidah”ucapkanlah
“rabbana wa lakal hamdu” dan apabila imam sujud maka sujudlah kalian, dan
apabila imam shalat sambil duduk maka duduklah kalian semuanya.”(HR.Muttafaq alaih)
Begitu tingginya kedudukan imam dalam shalat berjamaah,
maka dalam hadits lain Rasulullah mengingatkan bahwa siapa yang mendahului imam
baik dalam takbiratul ihram, dalam ruku, dan sujud; atau mendahului dalam
gerakan shalat lainnya dinyatakan shalatnya tidak sah.
Kemudian siapa yang berwenang menjadi imam Nabi telah
menentukan Kriteria sebagai berikut:
“Dari Ibn Ma’ud ra berkata : Rasulullah SAW bersabda mengimami
kepada kaum itu siapa yang paling fasih dan menghafal dalam membaca kitab Allah
(Al-Qur’an), dan apabila sejajar dalam
bacaan maka dahulukan yang paling memahami sunnah, dan apabila sejajar dalam
memahami sunnah, maka dahulukan yang lebih dahulu hijrah, dan apabila masih
sejajar, maka dahulukan yang paling tua usianya, dan jangan sekali-kali seorang
menjadi imam di wilayah kekuasaan orang lain, dan jangan pula menjadi imam di
rumah orang lain kecuali ada izin dari pemiliknya.”(HR.Ahmad dan Muslim)
Berdasarkan hadits di atas urutan-urutan kewengan
menjadi imam dalam shalat itu adalah:
- Yang mempunyai kelebihan membaca dan memahami Al-Quran;
- Yang mempunyai kelebihan memahami sunnah;
- Yang lebih dahulu hijrah; dan kalau masih sama
- Yang paling tua usianya.
Selain itu jangan sampai seorang imam nyelonong
menjadi imam di tempat orang tanpa izin pengurusnya atau pemiliknya.
Hal-hal yang harus diperhatikan imam
- Memperhatikan tertib urutan surat atau ayat sesuai dengan urutan dalam mushaf yang dibaca pada rakaat pertama, dan kedua setelah surat Al-Fathihah, misalnya pada rakaat pertama surat at-Takatsur setelah al-Fathihah dan pada rakaat kedua surat al-Ashr setelah al-Fathihah, boleh loncat tetapi tetap maju tidak mundur, umpamanya rakaat pertama surat al-Kafirun rakaat kedua al-Ikhlas (HR.Ibnu Majah)
- Memperhatikan panjang pendek surat yang dibaca setelah fathihah, surat yang dibaca pada rakaat pertama setelah al-Fathihah harus lebih panjang dibandingkan dengan surat yang dibaca pada rakaat kedua (HR.Ahmad, Muslim, Ibnu Majah dan Nasai)
- Memperhatikan shaf jamaah makmum, shaf atau barisan makmum agar lurus dan rapat, imam mengambil posisi di tengah di depan jamaah/makmum, apabila shaf pertama penuh, tersisa seorang, makmum tidak boleh di belakang sendirian, harus ada yang mundur seorang ke belakang berdiri di belakang imam dan shaf depan dirapatkan kembali.(HR.Bukhari dan Muslim)
- Memperhatikan keadaan jemaah, karena mungkin jemaah ada yang sakit, yang lemah tidak kuat lama berdiri, atau mungkin ada yang punya keperluan, jangan terlalu panjang bacaannya.(HR.Jamaah)
- Apabila makmum terdiri dari laki-laki dan perempuan dan anak-anak, baris terdepan diisi oleh laki-laki dewasa dan anak laki-laki, perempuan ditempatkan yang paling belakang.(HR.Ahmad dan Abu Dawud)
Demikian hal-hal yang harus menjadi perhatian imam, dalam shalat
berjamaah, terutama apabila makmumnya banyak seperti pada shalat jumat atau
salat iedain.
- Kepemimpinan dalam Keluarga
a.
Kepemimpinan
Pria dan Kelebihannya dari Wanita
Kepemimpinan dalam keluarga sebagian besar diambil alih
oleh keluarga disebabkan oleh kelebihannya dibanding perempuan. Latar belakang
pelebihan derajat tersebut karena Allah telah memberikan kelebihan kepada
sebagian yang lain, dan karena mereka (para laki-laki) memberi nafkah dari
hartanya. Karena itu wanita-wanita yang saleh, taat beribadah, mampu menjaga amanat
dan kehormatannya di saat suaminya beper khan sebagaimana Allah menjaganya
melalui firmannya”..dan wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusujnya, berilah
mereka peringatan kemudian jauhilah mereka di tempat tidurnya. Dan (kalau
mereka tetap begitu) pukullah mereka tapi jika mereka patuh kepadamu, janganlah
kamu mencari jalan untuk menyusahkan dirinya. Sesungguhya Allah Maha Tinggi dan
Maha Besar. (QS.An Nisa:34)
Dalam juz V tafsir al-Manar di jelasakan bahwa “ sudah merupakan ketentuan
bagi kaum pria untuk menjadi pemimpin bagi kaum wanita dengan memberikan
perlindungan dan pemeliharaan terhadap mereka. Salah satu diantara
kewajiban-kewajiban itu, bagian mereka harta pusaka lebih besar dari kaum
wanita disebabkan mereka mesti memberikan nafkah kepada wanita, dan tidak
sebaliknya. Latar belakang pemberian kelebihan kaum pria atas ini, adalah
mengakar pada asal kejadiannya. Allah memberikan anugerah kepada pria berupa
kemampuan dan kekuatan yang tidak dimiliki kaum wanita. Karena itu perbedaan
kewajiban dan hukum adalah diakibatkan oleh adanya perbedaan fitrah kejadian
dan perangkat-perangkat yang dimilikinya. Ada
pula sebab lain yang sifatnya bisa diusahakan yang mendukung sebab fitrah itu,
yakni nafkah yang diberikan kaum pria kepada kaum wanita. Mahar, adalah
pemberian kepada kaum wanita seiring dengan akad nikah yang menempatkan kaum
wanita di bawah kepemimpinan kaum pria. Syariat Islam mendukung mendukung kaum
wanita dalam tempat yang terhormat, sebab Islam hanya mewajibkan kepada mereka
hal-hal yang sesuai dengan fitrahnya serta demi terciptanya ketertiban
kehidupan melalui pembagian tugas dimana suaminya menjadi pemimpin baginya.
Ini, sudah menjadi tradisi yang diberlakukan umat manusia demi kemaslahatan
mereka, seakan-akan kaum wanita memang ditentukan untuk tidak memiliki
persamaan yang penuh, dan kaum pria dianugerahi kelebihan satu derajat berupa
kepemimpinan, dan itu diganti dengan pemberian materi kepada kaum wanita. Allah
berfirman: “seperti halnya mereka
mereka mepunyai kewajiban terhadap suaminya dengan sepatutnya, namun pria
memiliki kelebihan satu derajat diatas mereka.” (Q.S.Al-Baqarah:228). Dalam
ayat ini Allah meninggikan kaum pria satu derajat dari kaum wanita sesuai
dengan fitrahnya. Karena itu penghormatan kaum pria kepada kaum wanita berupa
pemberian-pemberian itu menjadi ganti yang sepadan bagi kaum wanita. Ini
ditempatkan sebagai tradisi yang serasi di kalangan ummat manusia agar kaum
wanita berjiwa bersih dan bisa memenuhi fungsinya sebagai penenang kalbu.
Disini tidak dikatakan, bahwa fitrah ini tidak memaksa kaum wanita mesti
menerima akad pernikahan yang menyebabkan wanita berada di bawah kepemimpinan
kaum pria tanpa imbalan apapun, sebab kita masih melihat adanya sejumlah kaum
wanita dari berbagai bangsa yang justru memberikan mahar kepada kaum pria agar
dengan itu mereka bisa merebut kepemimpinan dari tangan kaum pria.”
Imam Muhammad Abduh mengatakan : “yang dimaksud dengan kepemimpinan
disini, adalah kepemimpinan dimana orang yang dibawahinya bisa melakukan
tindakan sesuai dengan aspirasi dan kehendak dirinya dan bukan berarti ia
dipaksa mengikuti kehendak yang telah digariskan oleh orang yang memimpinnya.
Seperti halnya ungkapan ‘seseorang menjadi pemimpin orang lain “adalah
mengandung arti pemberian petunjuk dan pengawasan dalam melaksanakan
tugas-tugas yang didireksi tersebut. Yang juga termasuk dalam hal ini, adalah
memelihara rumah tanpa boleh meningglakannya sekalipun dengan tujuan
mengunjungi kaum kerabat, kecuali dalam waktu-waktu dan keadaan yang telah
diizinkan oleh suaminya.
Selanjutnya Imam
Muhamad Abduh mengatakan pula bahwa yang dimaksud dengan pemberian kelebihan
sebagian diantara mereka atas sebagian yang lain adalah kelebihan yang
diberikan kaum pria atas akum wanita. Dan kalau seandainya penyataan ini
diungkapkan dengan redaksi “ dengan kelebihan mereka atas kaum wanita” atau “
dengan dilebihkanya kaum pria atas wanita”, niscaya maknanya akan lebih tegas
dan jelas lagi seperti yang dimaksudkan syeh Muhammad Abduh diatas. Akan tetapi
memang ada hikmah yang termuat dalam ungkapan itu yang tercermin dalam firmanya
“ dan janganlah kamu berangan- angan dan iri hati ats kelebihan yang
dikaruniakan kepada sebagian diantara
kamu dari yang diberikan kepada sebagai yang lain …. “ ( Q.S an- Nisa: 32).
Ungkapan ini memberi arti bahwa kedudukan kaum wanita disisi kaum pria adalah
laksana organ tubuh dalam raga yang satu. Kaum pria sebagai kepala sedangkan
kaum wanita sebagai badanya.
Saya sendiri
berpendapat bahwa kaum pria tidak dibenarkan berlaku sewenang-wenang terhadap
kaum wanita lantarana kelebihan yang mereka miliki. Sebaliknya, kaum wanita pun
tidak dibenarkan pula meremehkan kelebihan yang dimiliki kaum pria, lalu
berusaha menundukan kaum pria melui kelebihan yang mereka miliki tersebut.
Tidak ada salahnya bagi seseorang untuk, misalnya menyatakan bahwa kepalanya
punya kelebihan dari tanganya, dan hatinya mempunyai kelebihan dari perutnya.
Sebab, kelebihan fungsi jasmaniyah yang menempatkan sebagian dari tubuh itu
sebagai “kepala” bagi yang lain, hanyalah demi kepentingan bersama, dimana
tidak ada satu bagianpun tubuh yang diperlukan secara aniaya tetapi semuanya
itu dilakukan untuk merealisasikan kemampaatanya seluruh anggota tubuh.
Kelebihan kaum pria dalam hal kemampuan mencari nafkah dan kekuatan memberikan
perlindungan telah menjadikan kaum wanita dengan lebih mudah menjalankan fungsi
fitrahnya : hamil, melahirkan, dan mengasuh anak, serta dengan itu kaum wanita
bisa tentram berada di rumah serta tercukupi seluruh kebutuhan rizkinya. Selain
itu, dalam ungkapan di atas, terdapat pula hikmah yang lain, yakni isyarat
bahwa kelebihan serupa itu hanya berlaku secara general, tidak secra individual
sebab sbanyak pula kita temukan wanita yang memilki kelebihan dari suaminya
baik dalam ilmu pengetahuan maupun profesinya, kekuatan pisik dan kemampuan
bekerja.
b.
Kepemimpinan
Kaum Pria dalam Keluarga Bersifat Musyawarah dan Bukan Diktator
Berbagai nash yang
terkandung dalam kitabullah dan sunnah Rasul menempatkan pengaturan rumah
tangga itu terikat oleh perintah dan larangan syara serta konvensi-konvensi
sosial tentang kerumahtanggaan yang berlaku di masyarakat untuk tujuan yang
baik, dan memlihara kehormatan baik
dalam suasana penuh kasih sayang maupun benci. Allah berfirman: “…pergaulilah mereka dengan baik, dan jika
kamu tidak menyukai mereka, maka bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu yang
justru banyak kebaikan ditempatkan Allah di dalamnya”(QS.An-Nisa:19).
Sementara itu Nabi SAW bersabda :”janganlah seorang mukmin saling pukul-memukul dengan seorang mukminah: kalau
ia tidak menyukai salah satu perangainya, pasti ia menyukai perangainya yang
lain”(HR.Muslim dari Jabir). Hadits ini senada dengan ayat tersebut di atas.
Larangan yang ada didalamnya, dibangun atas prinsip bahwa ikatan perkawinan itu
merupakan sarana membina kasih sayang yang sempurna, dan kalau hal itu
dilarang, maka hendaknya suami istri itu menjauhi hal-hal yang menyebabkan
timbulnya kebencian dan permusuhan. Secara khusus, Nabi menunjukan larangan
mencakar atau memukul ini kepada kaum pria karena perhatian beliau yang
demikian besar kepada kaum wanita.
c.
Kepemimpinan
Laki-laki Terhadap Seluruh Anggota Keluarga
Firman Allah dalam surat
An-Nisa ayat 34
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã
Ïä!$|¡ÏiY9$#
$yJÎ/ @Òsù
ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã
<Ù÷èt/
!$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù
ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym
ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur
Îû
ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù
öNà6uZ÷èsÛr&
xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62
ÇÌÍÈ
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki)
telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh,
ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak
ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha besar.
[289]
Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290]
Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya
dengan baik.
[291]
Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri
seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292]
Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan
pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak
bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat
juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan
bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang
lain dan seterusnya.
Ayat tersebut di atas
salah satunya menjelaskan tentang kepemimpinan seorang pria terhadap wanita. Di
dalam tafsir Jalalain karangan Imam Jalaludin Al-Mahalli dan Imam Jalaludin
As-suyuthi dirangkan bahwa ” cqãBº§qs%A%y`Ìh9$# (kaum
laki-laki menjadi pemimpin) artinya mempunyai
kekuasaan Ïä!$|¡ÏiY9$#n?tã(terhadap kaum wanita) dan
berkewajiban mendidik dan membimbing mereka <Ù÷èt/n?tãOßgÒ÷èt/ ª !$# @Òsù $yJÎ/ (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian kamu atas lainnya)
yaitu mereka laki-laki atas wanita, baik dengan ilmu maupun akal budi,
kekuasaan dan sebagainnya…”
Uraian tersebut kita tahu bahwa terdapat dua makna memimpin yang
diperintahkan kepada laki-laki yakni mendidik dan membimbing.
"Seorang lelaki itu adalah pemimpin
bagi keluarganya
dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya." (Muttafaq 'Alaih).
Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, katanya: "Saya mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Semua orang dari engkau sekalian itu adalah
penggembala dan semuanya saja akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang
imam - pemimpin - adalah penggembala dan
akan ditanya tentang penggembalaannya. Seorang lelaki adalah penggembala dalam keluarganya dan akan ditanya tentang
penggembalaannya, seorang isteri adalah penggembala di rumah suaminya dan akan
ditanya tentang penggembalaannya. Seorang pelayan juga penggembala dalam harta
tuannya dan akan ditanya tentang penggembalaannya. Maka semua orang dari engkau
sekalian itu adalah penggembala dan akan ditanya tentang
penggembalaannya." (Muttafaq 'alaih)
Menurut hadits ini wanita juga merupakan seorang pemimpin
di dalam rumah suaminya. Yang dimaksud mengembala disini adalah membimbing
mendidik dan menuntun. Seorang istri berkewajiban mendidik anak-anaknya
sementara suami mendidik istri dan anaknya.
Berkenaan dengan mendidik anak tentu saja ada saat-saat
siapa yang lebih berkewajiban untuk mendidik anak. Menurut psikologi kognitif
anak usia 0-2 tahun merupakan masa skema sensori-motori dimana anak bersifat
terbuka dalam merespon dan menanggapi lingkungannya. Sehingga ia akan menerima
begitu saja apa yang diberikan lingkungan kepadanya. Tanpa ada pandangan
sendiri. Hal ini senada dengan perintah Allah bahwa seorang ibu sebaiknya
menyusui anaknya sampai usia 2 tahun. Oleh karena itu pada masa ini sang ibulah
yang berkewajiban mendidik anaknya.
Sedangkan ketika menginjak usia anak-anak dengan
meneladani Lukmanul Hakim alangkah baiknya jika itu dilakukan oleh sang ayah.
Sebagaimana yang tergambar dalam QS. Lukman ayat 13-15 Lukman memberikan
nasehat kepada anaknya tentang nilai-nilai dasar tauhid dan juga Islam. Dan hal
ini tak mungkin dilakukan kepada anak yang baru berusia 4 tahun ke bawah.
Pendidikan dilakukan secara verbal baru bisa dilakukan pada saat anak mengalami
tinggkar perkembangan moral/sosial pertamanya yakni 4 sampai 7 tahun (Muhibbin
Syah, 1999). Saat itu seorang anak memiliki karakteristik psikologis sebagai
berikut:
(i)
memusatkan pada akibat-akibat perbuatan,
(ii)
aturan-aturan dipandang tidak berubah,
(iii)
hukuman atas pelanggaran dipandang bersifat otomatis.
- Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam
Kepemimpinan perempuan telah lama menjadi pembicaraan
ulama, klasik maupun kontemporer. Imam mazhab membahas tentang boleh atau
tidaknya seorang perempuan menjabat sebagai hakim [wilâyah al-qadhâ], maka ulama sesudahnya seperti al-Mawardi (w.
450) dan Abu Ya’la al-Farra (w. 458 H) sebagai peletak dasar teori politik
Islam membicarakan lebih luas lagi seperti persyaratan untuk menjadi kepala
negara, “ wizârah al tafwîdz”
(perdana menteri), “wizârah al-tanfîz”
(menteri), “ ahl al-halli wa al-aqdi”
atau “ahl al-ikhtiyah” (lembaga yang
berkewajiban memilih kepala negara, menetapkan undang-undang dan kebijakan
politik negara). Sedangkan ulama kontemporer lebih disibukan dengan persoalan
boleh atau tidaknya seorang perempuan menjabat sebagai kepala negara.
Sampai hari ini, belum diketahui ada pendapat para ulama
mazhab yang tidak memperbolehkan perempuan menjabat sebagai kepala negara.
Pendapat ini didukung oleh banyak ulama terkemuka, misalnya Imam al-Ghazali
yang menyatakan bahwa kepemimpinan (imamah) tidak bisa dipercayakan kepada
perempuan walaupun memiliki berbagai sifat kesempurnaan dan kemandirian.
Menurut tokoh yang dijuluki hujjat al Islâm ini, bagaimana perempuan
mencalonkan diri untuk jabatan pemimpin sementara ia tidak memiliki hak
pengadilan dan kesaksian dalam kasus hukum.
Larangan bagi perempuan untuk menjabat kepala negara
ternyata tidak hanya diributkan dalam kitab-kitab fiqh politik klasik, tetapi
dalam kitab-kitab fiqh politik kontemporer pun perempuan sebagai pemimpin masih
dipertanyakan. Wahbah al-Zuhaily, misalnya dalam kitab Nizhâm al-islâm menyebutkan tujuh syarat untuk menjadi kepala
negara. Ketujuh syarat tersebut adalah :
a.
Seorang
pemimpin harus memiliki jiwa kepemimpinan yang sempurna
b.
Muslim
c.
Merdeka
d.
Baligh
e.
Berakal
f.
Laki-laki
Adanya syarat laki-laki menurut beliau, disebabkan oleh
karena beban menjadi pemimpin membutuhkan kemampuan yang besar yang tidak
mungkin ditangggung seorang perempuan. Selain itu juga seorang perempuan tidak
bisa menjalankan tugas-tugas berat lainnya, seperti ikut berperang dan
pekerjaan lain yang beresiko tinggi.
Ada beberapa argument yang dipakai oleh ulama
untuk memperkuat pandangan mereka mengenai larangan perempuan menjadi kepala
negara.
Firman Allah SWT dalam QS.al-Nisa ayat 34
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& `ÏNÎgÏ9ºuqøBr& 4
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka”.
Menurut para ulama,
term qawwâm berarti pemimpin,
pelindung, penanggung jawab, pendidik, pengatur, dan lain-lain yang semakna.
Mereka mengatakan bahwa kelebihan yang dimilki laki-laki atas perempuan adalah
karena keunggulan akal dan fisiknya. Akal dan pengetahuan yang dimiliki
laki-laki, menurut mereka melebihi akal dan pengetahuan perempuan, dan untuk
pekerjaan-pekerjaan keras laki-laki lebih sempurna. Oleh karena itulah hanya
laki-laki yang bisa menduduki jabatan kepala negara.
Firman Allah SWT yang lain dalam QS.al-Baqarah ayat 228:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy
“ Dan kaum perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajiban menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai derajat
satu tingkat di atas mereka”.
Ayat ini mengandung
pengertian bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya daripada perempuan, baik
dari segi kedudukan, tingkatan ketaatan, pencarian nafkah, maupun dalam hal
penciptaan kemaslatan.
Dalam salah satu hadits Nabi SAW dari Abu Bakrah yang
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, yang berbunyi:
“Tidak akan berbagai suatu
masyarakat yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan”.
Hadis ini
mengisyaratkan bahwa perempuan tidak dibolehkan mengurusi persoalan-persoalan
public, hingga kapanpun. Kepemimpinan social yang dipercayakan kepada perempuan
dianggap akan menimbulkan kerugian dan mudarat.
Ijma’
Dalam ijma’ telah
disepakati bahwa pengalaman praktek Islam dari masa Nabi SAW, khulafâ al-râsyidûn hingga generasi
sesudahnya tidak pernah melibatkan perempuan dalam menyelesaikan urusan
social-politik. Memang, pada masa Muhammad saw banyak perempuan yang cemerlang
dalam peradaban maupun pemikiran, seperti istri-istri Rasul saw, tetapi mereka
tidak pernah bergabung dalam urusan politik. Mereka juga tidak pernah diajak
untuk terjun ke dalamnya.
Qiya
Dalam tradisi fiqih Syafi’I,
qiyas memang menjadi salah satu landasan hukum Islam. Sebagai misal, perempuan
tidak boleh menjadi kepala negara karena perempuan tidak boleh menjadi imam
shalat. Kemudian, perempuan tidak dibolehkan
pergi sendirian ke luar rumah tanpa ditemani suaminya atau keluarga
muhrimnya.
Semua dalil di atas
saling kait mengait dalam memperkuat argumentasi ketiakbolehan perempuan dalam
memegang pemimpin publik. Baik ayat, hadits, ijma’, maupun qiyas, semuanya
mengisyaratkan bahwa jabatan sebagai kepala negara hanya dimungkinan bagi
laki-laki.
Eksitensi Perempuan dalam
Islam
Sepenjang sejarah
Islam, banyak kaum perempuan yang menjadi cendekiawan, ahli hukum dan secara
tidak langsung bisa disebut pemimpin. Tradisi Islam yang kaya dengan
keterlibatan perempuan. Seorang muslimah yang memegang teguh ajaran Islam sudah
pasti memahami bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran yang saling
melengkapi yang sudah ditetapkan oleh Allah swt dan Allah swt memberikan
kesempatan yang sama bagi laki-laki maupun perempuan untuk mencapai tujuan
akhir dari kehidupan mereka yaitu kehidupan abadi di akhirat.
Dalam Al-qur’an,
Allah swt menetapkan bahwa keshalehan dan bukan gender yang dijadikan
pertimbangan utama dalam menentukan siapa yang terbaik di mata-Nya. Dengan
perbedaan – perbedaan antara kaum laki - laki dan perempuan, Allah swt
menyatakan bahwa kedudukan lelaki dan perempuan sama di sisi Allah swt.
Islam menyamakan
laki-laki dan perempuan dalam hal kewajiban hukum (syariat) dan balasan yang
akan mereka terima. Firman Allah swt.,
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang
muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang
benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusu,
laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan
yang menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan
pahala yang besar.”(Q.S. Al Ahzab 33:35)
Laki-laki dan
perempuan memiliki asal yang sama, seperti yang dijelaskan dalam surat An-Nisaa 4:1, yaitu
:
“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu ( min nafsin wahidatin) dan darinya
Allah menciptakan istrinya dan dari keduanya Allah mengembangbiakan laki-laki
dan wanita”
Laki-laki dan
perempuan adalah dua makhluk yang saling mendukung, saling melindungi, saling
menyukai. Laksana pakaian di tubuh yang berfungsi sebagai sarana menampilkan
kelebihan dan menutupi kekurangan masing-masing. Jadi, dalam hal ini laki-laki
dan perempuan harus saling bekerja sama.
Wanita tidak lebih
rendah derajatnya karena dinafkahi oleh suaminya, sebagaimana dijelaskan dalam
Surat An-Nisaa ayat 32,
“ Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. Bagi orang laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan
bagi para wanita ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah
kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
Jadi, memang sudah
tanggung jawab ekonomi keluarga diletakkan di pundak laki-laki, tetapi
keberhasilan tugas itu sepenuhnya didukung oleh istri dan anak-anak.
Tanggung jawab
terbesar di muka bumi diletakkan di pundak wanita, mulai dari kehamilan,
melahirkan, menyusui, membesarkan, dan mendidik generasi umat manusia. Seorang
perempuan itu sangat mulia, cinta kasih dan pengorbanan mereka tidak bisa
diganti dengan nilai apa pun. Al Quran mengakui pergulatan nadi kehidupan
seorang ibu ketika ia menanggung amanah kelangsungan keturunan manusia.
Kaum ibu mempunyai
kedudukan yang agak berbeda dan khas
karena Allah swt. telah menempatkan posisi kaum ibu setara dengan para mujahidah bila ia menjalankan perannya
sebagai ibu dan istri dengan baik,
“ Siapa di antara kalian para istri dan ibu
ikhlas di rumah untuk mengasuh anak-anak dan melayani segala urusan suaminya
maka ia akan mendapat pahala yang kadarnya sama dengan para mujahidin di jalan
Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jadi, perempuan itu
setara dengan laki-laki hanya iman dan takwanyalah yang membedakannya. Walaupun
pada kadratnya laki-laki merupakan seoarang pemimpin, pembimbing, pengayom,
pelindung, tetapi perempuan juga berperan besar sebagi motivator, pendamping,
dan pendukung sehingga terjadi keserasian harmonisasi dan penyeimbang kaum
laki-laki.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pemimpin dan kepemimpinan dalam Islam mendapat perhatian
cukup besar. Karena dalam Islam pada hakikatnya merupakan pemimpin. Entah itu
dalam pemerintahan, keluarga, institusi, atau bahkan hanya memimpin dirinya
sendiri. Dan tentunya manusia akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang
dipimpin nya di hadapan di hadapan Allah Yang Maha Esa.
Di dalam Islam kepemimpinan dibatasi dan diatur oleh
Agama. Tidak setiap orang secara idealnya bisa memimpin orang lain (ummat).
Setiap calon pemimpin harus memiliki criteria-kriteria tertentu yang sudah
ditentukan. Hal ini dimungkinkan agar memperoleh suatu kepemimpinan yang adil,
bersih, harmonis, dan ideal. Walaupun realitanya tidakalah demikian, namun
setidaknya dengan adanya klasifikasi pemimpin yang ideal itu akan memunculkan
pemimpin-pemimpin yang mendekatai keidealan.
Saat ini kepemimpinan bukan saja hanya dipegang oleh
seorang laki-laki. Wanita pun sudah banyak yang berkiprah sebagai pemimpin.
Mereka tidak hanya pemimpin bagi anak-anak mereka di keluarga. Tetapi mereka
juga memimpin organisasi-organisasi yang lebih besar (seperti: perusahaan,
pemerintahan, dll). Meskipun wanita sudah diberikan kesempatan untuk memimpin
selayaknya ia tidak melupakan kodratnya sebagai wanita, sehingga ia tidak
terlalu jauh melangkah.
Wallahu a’lam
Daftar Pustaka
Rasyid, Sulaiman.2008.Fiqh Islam.Sinar Baru Algesindo
Fukoro, Abal.2003.Penegakan Syariat Islam (kepemimpinan
Islam)
Agustina, Sasa Esa.2006.Wanita
(Antara Cinta dan Keindahan). Bandung:
Khazanah Intelektual
Syah, Muhibbin.1999.Psikologi
Belajar.Jakarta: Rajawali Pers
Ridha, Muhammad Rasyid.1986.Panggilan
Islam Terhadap Wanita.Bandung: Penerbit Pustaka
Al-Mahalli, Jalaludin dan As-Suyuti,
Jalaludin.2007.Tafsir Jalallain (Jilid 1). Bandung: Sinar Baru Algesindo
Sopyan, Yayan, dkk..2005.Pengantar
Fiqh. Jakarta:
Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah
Abdurrahman.2008.Risalah Khutbah
dan Doa. Bandung: Universitas Islam Bandung
Komentar
Posting Komentar